Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian– 418-419


Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian– 418
tikam samurai
”Semua diam di tempat kalau ingin selamat! Diammm…!” terdengar bentakan si Datuk mengguntur.
Semua penompang terdiam. Polisi yang dua lagi menghunus senjata.
”Lemparkan senjatamu, Datuk! Kalian tak mungkin membalas. Kami memiliki senjata lebih banyak dari kalian…” komandan muda itu berseru.
Sebagai jawabannya, terdengar tawa cemooh.

”Kau polisi kentut! Jangan banyak bicara. Kau lemparkan senjatamu ke mari. Kalau tidak, kami akan mulai membantai penumpang!”
Polisi yang bertiga itu saling pandang di tempat perlindungan mereka, di antara kursi.
”Jangan main gila, Datuk. Kalian akan digantung kalau kalian berani mengganggu penumpang. Di Stanplat Padang Tarok ada satu kompi tentara. Kalian pasti mereka tembak!”
Kembali terdengar tawa penuh cemooh.
”Jangan banyak kecek waang, polisi tumbuang. Kalau kau tak percaya, bahwa kami akan membantai penompang ini, ini buktinya!”

Terdengar sebuah tembakan. Seseorang meraung dan jatuh! Terdengar pekik panik. Lalu bentakan menyuruh diam. Semuanya kembali terdiam.
”Nah, polisi cirik, dengarlah! Kami telah peringatkan kalian. Kalau ada di antara penumpang ini yang mati, maka itu salah kalian. Bukan salah kami, kalian dengar!? Kalian yang tak mau menuruti perintah kami. Apakah perlu saya tambah jumlah yang mati?”
”Benar-benar anjing yang tak berperikemanusiaan…!” bisik komandan muda itu.

Mereka memang tak berdaya. Disatu pihak mereka ingin menangkap bajingan-bajingan itu. Ingin menyelamatkan penumpang. Tapi ternyata bandit-bandit itu mempunyai pertahanan yang ampuh. Menjadikan penumpang sebagai sandera.
”Saya hitung sampai empat. Kalau kalian tak melemparkan senjata kalian, maka ada empat orang yang akan mati! Satu…!” Datuk Hitam itu segera saja menghitung.
”Baik, kami akan melemparkan senjata kami. Tapi apa kehendakmu, Datuk?”
”Jangan ikut campur urusan kami. Apapun kehendak kami bukan urusanmu. Dua…!” dia melanjutkan hitungannya.
Namun tiba-tiba saja sebuah suara memecah dari arah gerbong yang berada di belakang Datuk Hitam.
”Kau takkan pernah menghitung sampai tiga, Datuk!”

Datuk Hitam menoleh, ke belakangnya. Di sana sebenarnya ada dua anak buahnya yang tegak menodongkan bedil kepada penumpang. Demi malaikat!, kedua anak buahnya itu kini tergeletak dengan kening mengalirkan darah dan mata mendelik. Keduanya tergeletak mati! Diantara bangkai kedua anak buahnya itu tegak dengan tenang seorang lelaki yang dia kenal betul. Yaitu lelaki yang menghantam kerampangnya di suatu sore di Los Galuang, tatkala dia akan merampas uang yang diberikan lelaki itu kepada tukang salung. Kini lelaki yang menghajarnya itu tegak di sana, dan dialah yang barusan bicara!

Belum habis kagetnya, ketika di ujung gerbong yang satu lagi, yang berada di hadapannya, seorang anak buahnya yang juga tengah menodongkan bedil kena hantam popor senjata polisi yang muncul secara tiba-tiba. Anak buahnya itu jatuh melosoh dan bedilnyadiambil anggota polsi tersebut. Sadar dirinya dalam bahaya, Datuk itu menarik pelatuk pistol yang sejak tadi larasnya dia arahkan ke kepala seorang perempuan. Namun telunjuknya yang sudah menempel di pelatuk pistol itu tak kunjung bisa dia gerakkan. Bersamaan dengan itu dia merasakan belikatnya linu luar biasa.

Dia tak tahu bahwa sebuah samurai kecil telah tertancap di salah satu bagian belikatnya, yang menyebabkan tangannya lumpuh! Datuk itu kembali menarik pelatuk pistolnya, tapi jangan menariknya, menggerakkan telunjuknya saja dia tak mepunyai kemampuan. Sementara sakit di belikatnya terasa semakin menusuk jantung. Mengetahui bahwa Datuk Hitam itu tak bisa menggerakkan tangannya, suami perempuan yang sejak tadi menggigil karena ditodong Datuk keparat itu, menyentak parang yang memang dia bawa untuk menjaga diri, tapi sejak tadi takut dia mempergunakannya karena isterinya berada di bawah ancaman moncong pistol.

Parang tajam itu dia tebaskan, dan..tangan Datuk Hitam yang memegang pistol itu putus. Tercampak ke lantai gerbong dengan pistol masih dalam genggaman tangannya yang putus itu! Datuk celaka itu sebenarnya tadi sudah berusaha menjauhkan tangannya dari tebasan itu. Namun entah sihir apa yang mengenai dirinya, tangannya tak mampu dia gerakkan sedikitpun! Lalu, begitu tangannya putus dia meraung-raung kesakitan!

Namun tetap berdiri tak bisa bergerak sedikitpun! Melihat kesempatan itu lelaki dan perempuan yang ada di gerbong tersebut, yang tadi berada di bawah ancaman Datuk itu dan anak buahnya, bangkit serentak merangsek ke arah Datuk yang amat ditakuti dan dibenci itu. Dengan segala apa yang bisa diraih mereka menghantam Datuk tersebut yang tetap saja tegak tak bisa bergerak sedikitpun!

Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian– 419
tikam samurai
Dia meraung dipelasah para penompang yang sudah muak melihat kekejamannya. Akhirnya, massa baru kembali ke tempatnya setelah Datuk itu tergelimpang mereka hakimi sampai kepalanya pecah dan leher hampir putus, mata mendelik dan lidah terjulur! Itulah akhir riwayat orang Minang yang menjadi penjahat amat sadis dalam kecamuk perang saudara. Datuk pemakan masak mentah, orang kampungnya sendiri dia jahanami. Berakhir sudah sebuah kelompok penjahat yang amat kejam, ditakuti sekaligus dibenci masyarakat di tanah Minang selama pergolakan itu.

Saat itu pula kereta berhenti di stasiun Payakumbuh. Polisi yang bertiga itu mencari anak muda yang tadi melumpuhkan kedua begal di gerbong tersebut. Mereka ingin mengucapkan terimakasih. Namun si Bungsu sudah berbaur di dalam orang ramai yang turun di stasiun. Dia ke pasar dan lenyap dalam palunan orang ramai. Kemudian segera menuju ke perhentian bendi. Dia ingin segera sampai ke kampungnya, Situjuh Ladang Laweh. Niatnya pulang ke kampung hanya satu, ziarah ke makam ibu, ayah dan kakaknya!

Hari sudah malam. Di dalam sebuah kedai kecil kelihatan berkumpul walinagari dan lelaki tua pemilik kedai serta anak gadisnya. Selain itu ada tiga orang lelaki berbedil. Mereka nampaknya dari pasukan PRRI. Hal itu jelas kelihatan dari pakaian yang dikenakan ketiganya. Yang satu pimpinan di antara mereka, di pinggangnya tersisip dua pistol. Satu di kiri dan satu di kanan. Yang dua lagi memakai senapan laras panjang. Mereka tidak memakai pakaian seragam. Ketiganya menatap kepada pemilik kedai itu dengan muka tak bersahabat. Sementara lelaki tua pemilik kedai dan anak gadisnya duduk dengan wajah kecut. Ketiga anggota PRRI itu nampaknya sedang mengorek keterangan dari si pemilik kedai.

Soalnya seminggu yang lalu seregu pasukan APRI datang ke kampung ini dan ke dua kampung lagi yang berdekatan. Beberapa dari mereka singgah di kedai ini, cukup lama. Sehari kemudian dua buah rumah di kampung ini disergap sepeleton tentara APRI. Mereka menangkap tiga anggota PRRI dari rumah itu, berikut lima bedil yang ada di sana. Setelah penggerebekan, sebagian pasukan kembali ke Payakumbuh. Sebagian lagi berjaga-jaga di kampung itu. Empat orang di antaranya kembali masuk ke kedai tersebut. Cukup lama. Mereka baru keluar setelah berada di dalam kedai itu sekitar dua jam.

Kedua anak beranak itu dikumpulkan di kedai mereka, dijaga oleh seorang anggota PRRI. Sementara yang dua lagi naik mengobrak-abrik dua kamar di rumah. Mereka menemukan kaleng tempat menyimpan uang, kemudian gelang, subang dan kalung emas.
Semuanya dibungkus dengan saputangan dan dibawa ke kedai lalu diserahkan kepada si komandan. Kedua anak beranak itu hanya menatap dengan diam dan ketakutan. Melawan bisa mendatangkan celaka. Dalam negeri bergolak ini hukum ada di ujung bedil.

Mereka tak berani menyanggah apapun, sebab kemaren ketiga orang ini pula yang menembak mati Amir dan isterinya di dalam rumah mereka tak jauh dari kedai mereka ini. Amir dan isterinya adalah pedagang yang menggelar dagangannya di kampung-kampung pada hari balai. Jika misalnya hari Kamis balai di Gaduik, mereka berjualan di Gaduik. Tapi hari Rabu dan Sabtu mereka berjualan di Bukittinggi, karena hari itu adalah hari pasar di kota tersebut.

Kedua suami isteri itu dituduh sebagai ”mata-mata tentara Pusat”. Tapi semua orang dikampung itu tahu, kedua mereka sudah lama dijadikan ketiga orang ini sebagai sapi perahan. Dimintai beras, uang, lauk-pauk, pakaian dan lain-lain. Bisik-bisik yang beredar mengatakan mereka dibunuh karena menolak dijadikan sapi perah. Dikabarkan mereka akan melapor kepada komandan pasukan PRRI atas sikap ketiga orang itu. Sebelum sempat melapor, mereka dibunuh dengan tuduhan mata-mata pusat! Pemilik kedai itu tak mau nasib yang sama menimpanya, karena itu dia pasrah saja ketika rumahnya digeledah dan uang serta perhiasan anaknya diambil.

”Nah jelaskan apa tujuan tentara kapir itu singgah ke kedai ini..!” ujar si komandan memulai interogasi.
”Mereka singgah di sini meminta ditanakkan nasi..” ujar lelaki tua pemilik kedai.
”Kedai ini kan bukan rumah makan..”
”Saya sudah jelaskan hal itu, Ngku. Tapi mereka tetap menyuruh Siti bertanak, bagaimana kami harus menolak?”
”Apa saja yang mereka tanyakan?”
”Tidak ada…”

Jawaban lelaki itu terputus, sebuah tinju mendarat di bibirnya. Lelaki itu terhuyung, darah mengalir dari bibirnya yang percah, anak gadisnya terpekik dan memeluk ayahnya.
”Jika tidak ada yang berkhianat, takkan terjadi penangkapan tiga orang anggota kami di kampung ini. Sehari setelah mereka makan di kedai ini terjadi penangkapan di dua rumah. Jelas tentara-tentara kapir itu telah mendapat informasi. Dan informasi itu datang dari kalian di kedai ini..”
”Demi Tuhan, sa…”

Ucapan lelaki tua itu terputus lagi oleh sebuah tendangan yang mendarat telak di dadanya. Menyebabkan dia terjatuh dan muntah darah. Anak gadisya memekik. Namun tubuhnya disentakkan oleh salah seorang anggota PRRI tersebut.
”PRRI juga sering minta ditanakkan nasi di sini. Dan selalu saya tanakkan, kendati malam telah amat larut. Kami tak pernah menolak orang minta tolong. Tapi hanya itu, kami tidak memberikan informasi apapun, karena kami tidak tahu apapun. Pak Wali, tolong ayah saya..” mohon gadis itu dalam tangisnya kepada walinagari yang duduk terdiam dengan wajah kecut.

Walinagari itu ingin membela, dia tahu lelaki tua pemilik kedai ini takkan berkhianat pada siapapun. Ke kedai ini tidak hanya anggota APRI yang singgah, tapi juga anggota PRRI. Itu disebabkan di desa kecil ini hanya inilah satu-satunya kedai yang ada. Kedai kecil menjual pisang dan ubi goreng, kerupuk jangek dan kerupuk palembang, kemudian kopi dan teh.

Pagi sekali penduduk kampung ini selalu singgah minum kopi dan makan pisang goreng sebelum mereka berangkat ke sawah atau ke Payakumbuh. Sore, terkadang malam hari, mereka juga sering ngumpul di kedai ini untuk main domino sebagai satu-satunya hiburan. Biasanya ada hiburan mendengarkan siaran radio, tapi yang punya radio transistor di kampung ini hanya seorang, Amir. Dan dia sudah mati ditembak. Radio transistornya dibawa PRRI entah kemana.


Tinggalkan komentar