tikam samurai (bagian 20-21)


Malam itu terang bulan. Benar – benar bulan purnama. Kota Payakumbuh kelihatan ramai oleh orang – orang yang keluar. Tapi di salah satu sudut kota, di rumah seorang Cina di kamar belakang, kelihatan berkumpul tiga orang lelaki. Mereka duduk bersila di atas tikar rotan. Udara dalam ruangan dipenuhi oleh bau sake dan candu. Diantara keenam lelaki itu ada tiga perempuan. Satu keturunan Cina, yang dua lagi peranakan India. Mereka duduk sambil bersandar atau dipeluk oleh Jepang yang duduk di tikar rotan itu.
Seorang Cina bertubuh gemuk berkepala botak mendatangi kelompok jantan dan betina itu. Dia datang dengan sebuah tabung bambu yang panjangnya sejengkal. Saat dia duduk segera saja Jepang – Jepang itu duduk mengitarinya. Uang dikeluarkan, dan mereka mulai main dadu. Cina gemuk itu adalah pemilik rumah di mana kini mereka berada.
Kini dia bertindak sebagai bandar dalam judi dadu yang diadakan tersebut. Rumah Cina ini dikenal penduduk sebagai rumah kuning. Yaitu rumah pelacuran terselubung. Yang datang kemari khusus para perwira saja. Sebab di sini juga disediakan perempuan – perempuan pilihan. Salah satu dari perempuan itu adalah anak gadis Cina botak itu sendiri.
Anak gadisnya memang terkenal cantik dan bertubuh padat. Setiap perwira bisa memakainya dengan bayaran yang tak tanggung – tanggung tingginya. Selain tempat lacur dan tempat judi, pejuang – pejuang Indonesia juga sudah lama mencurigai rumah itu sebagai sebuah pusat mata-mata untuk pihak Jepang. Soalnya Cina itu sudah berdiam sejak lama di rumah tersebut. Ketika zaman penjajahan Belanda, dia sudah menjadi semacam kepercayaan orang Belanda pula. Kini ketika Jepang berkuasa, dia juga menjadi kepercayaan Jepang.
Pejuang – pejuang Indonesia sudah lama mengintai rumah tersebut. Namun kendati memiliki beberapa bukti, mereka tak dapat melakukan apapun. Apalagi kini dia mendapat perlindungan Jepang. Maka usaha pejuang – pejuang Indonesia untuk menangkap Cina ini tak pernah berhasil. Padahal beberapa orang pejuang yang tertangkap, diantaranya anak buah Mayor M yang berkedudukan di Piobang, disebabkan oleh Cina gemuk ini. Dia menyebar intelnya diantara penduduk pribumi dan perempuan – perempuan lacur. Bahkan tertangkapnya beberapa pejuang yang mencuri senjata di Kubu Gadang empat bulan yang lalu juga atas petunjuk Cina ini.
”Sudah datang dia ?” seorang perwira Jepang yang berpangkat Lettu (Chu – I), bertanya sambil menambah uang taruhannya.
”Belum, mungkin sebentar lagi”, jawab Babah gemuk tersebut.
Mereka meneruskan main dadu. Tiba – tiba Chu – I itu tegak. Menatap pada ketiga perempuan yang ada dalam ruangan itu.
”Hei, mana Amoy ..?” tanyanya.
Ketiga perempuan itu menatap pada si babah gepuk yang sedang duduk main dadu. Si gemuk main terus, meraih uang di tikar yang dimenanginya.
”Mana Amoy, gemuk?” tanya si Chu-I.
Si gemuk memberi isyarat dengan menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Namun ketika Jepang itu akan tegak, si gemuk memberi isyarat meminta uang terlebih dahulu dengan menampungkan tangannya. Chu-I tersebut merogoh kantong dan menyerahkan beberapa lembar uang, kemudian melangkah kekamar yang dimaksud si babah gemuk.
Ketika dia baru sampai di depan pintu, pintu kamar itu terbuka, seorang Jepang yang juga berpangkat letnan keluar dengan menyeka peluh di lehernya. Mereka bertegur sapa sepatah dua. Sampai di dalam Jepang itu melihat Amoy anak babah gemuk itu sedang merapikan tempat tidur. Posisinya yang sedang membungkuk membelakangi pintu dengan handuk melilit tubuh, menampakkan pangkal pahanya dari belakang. Jantung Jepang itu berdebar kencang. Seperti orang kesurupan dia menyeruduk ke gadis bertubuh montok itu.
Tikam Samurai (Bagian 21)
Di luar rumah Cina itu sejak tadi seorang lelaki kelihatan tegak. Dia seperti menanti sesuatu. Dan setelah lebih dari dua jam dia tegak di sana, barulah dia lihat dua orang lelaki mendekati rumah itu. Dia cepat – cepat melangkah mendekati kedua lelaki itu.
” Hei. Jumpa lagi kita ..! ” dia berkata pada kedua lelaki itu. Dan kedua lelaki itu berhenti. Menatap padanya. Dalam cahaya bulan, mereka segera mengenali orang yang menegur mereka itu.
” Hmm. Kau Bungsu ..!”
” Ya. Aku si Bungsu. Sudah lebih dua tahun kita tak bertemu ya Baribeh ?”
Baribeh yang dulu pernah melanyau tubuhnya ketika mereka kalah berjudi di Surau bekas di kampungnya, tertawa menggerendeng.
” Tapi kudengar kau sudah mampus dihantam samurai Saburo.”
Baribeh yang pesilat itu berkata. Tubuh si Bungsu seperti jadi kaku mendengar nama Saburo disebut. Untung saja malam hari, hingga perobahan air mukanya tak kelihatan oleh Baribeh.
” Ah, itu cerita burung. Buktinya saya masih hidup.
Apa perlunya Jepang membunuh saya. Hmm, ini si Jul ya?” Si Bungsu tersenyum pada lelaki juling yang dia sebut sebagai si Jul itu.
” Kalera!!. Jangan ikut – ikutan waang memanggil saya dengan sebutan itu buyung. Kuremas mulut waang dengan cirik nanti ..!” ujar si Jul tersinggung. Sebab orang yang berani dan yang boleh memanggilnya dengan sebutan si Jul itu hanya pimpinannya, si Baribeh.
” Tenanglah Jul. Mungkin dia punya duit banyak seperti dulu. Hei Bungsu, apakah waang masih suka berjudi ?”
” Akhir akhir ini tidak lagi. Tak ada yang mau bertaruh besar. Percuma saja main. Menghabiskan waktu saja ”.
Baribeh menyikut si Jul perlahan. Si Jul tahu maksudnya, yaitu anak muda ini akan mereka jadikan korban lagi.
” Ah, saya jera main dengan kalian. Menang kalian ingin menerima, kalah tak membayar. Kalau sekedar tak membayar saja tak apa. Ini diri saya kalian lanyau. Itu
membuat saya ngeri ..” ujar Bungsu.
Baribeh tertawa, memperlihatkan giginya yang merah karena sirih dan runcing – runcing seperti gigi tikus.
” Ahaaa .. jangan takut. Jangan takut. Di tempat ini aman. Ada orang Jepang dan Cina sebagai juri. Waang aman percayalah. Ayo. Ayooo ..!”
Si Bungsu semula seperti ragu dan takut. Tapi karena tangannya ditarik oleh Baribeh, akhirnya dia menuruti juga. Padahal dia telah menunggu kesempatan ini sejak lama.
Bukankah dulu, saat dia sadar dari pingsannya setelah dilanyau Baribeh dan dua temannya, setelah semua uangnya mereka sikat di surau bekas itu dia, bersumpah akan menuntut balas? Kini kesempatan itu datang. Dia melangkah perlahan mengikuti Baribeh. Di belakangnya berjalan si Juling. Mereka memasuki rumah Babah gemuk itu. Babah yang kini tengah asyik bermain dadu dengan dua orang tentara Jepang yang anak gadisnya tengah dilanyau oleh tentara Jepang berpangkat Chu – i itu. Mereka melangkah terus ke dalam. Baribeh dan si Jul nampaknya sudah terlalu biasa di rumah ini. Mereka mengenal setiap penghuni dan
sudut rumah itu. Ketika mereka muncul ditempat orang yang tengah berjudi dadu itu, si Babah berbisik pada salah seorang perwira Jepang didepannya :
” Ini mereka datang,” kemudian dia berseru pada Baribeh
” Hai Baribeh. Lama tak datang lagi. Mana saja ente pigi ?”
”We pigi jauh. We ada bawa kabar baik, dan ada bawa kawan baik. Ini kawan mau main dadu sama babah ”.
Baribeh menjawab sambil menirukan gaya bicara babah gemuk itu. Babah gemuk itu menatap pada si Bungsu. Demikian pula kedua serdadu Jepang itu. Kedua Jepang itu menatapnya dengan seksama.
Sementara Babah gemuk itu hanya menatap sebentar. Namun si Bungsu, yang nyaris tiga tahun hidup di pinggang gunung Sago, bergaul dan mempelajari kehidupan mahluk yang ada di sana, terutama hewan buas agar tak mati dilapahnya, dapat menangkap pandangan yang ganjil maknanya dari tatapan mata si Babah yang sekejab itu. Dia tak dapat mengetahui dengan pasti, apa yang harus dia curigai dari tatapan si gemuk itu. Namun firasatnya yang tajam, yang dia bawa dari pengalaman hidup sekitar dua tahun di gunung Sago, memperingatkan bahwa kalau terjadi apa – apa, maka yang berbahaya dan harus diawasi adalah Babah gemuk yang kelihatan loyo itu.
Dengan pesan naluri demikian, dia lalu mengangguk kepada mereka. Kemudian duduk agak berjarak dari kedua Jepang tadi. Baribeh dan temannya si Juling itu juga mengambil tempat duduk menghadapi si Babah. Ketiga mereka yang baru datang itu belum segera bertaruh. Mereka hanya duduk memperhatikan permainan yang sedang berlangsung.
Si Baribeh merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah bungkusan. Kemudian mengeluarkan semacam tembakau, tapi agak kasar. Menggulungnya besar – besar, kemudian menghirupnya seperti mengisap cerutu. Kedua perwira Jepang yang tengah berjudi itu mengangkat kepala mencium bau asap yang dihembuskan oleh si Baribeh.
” Hmm. Candu. Candu nomor satu ” ujar yang seorang Salah seorang diantara mereka lalu meraih bungkusan si Baribeh. Menggulungnya besar–besar. Dan menghisapnya. Temannya juga ikut meniru. Kemudian si Juling. Mereka menghisap candu itu dengan ni’matnya.


Tinggalkan komentar